Jumat, 08 November 2019

Agresi Militer Kedua dan Konferensi Antar Indonesia

Selamat datang di , yang selalu mengulas berbagai ulasan khususnya sejarah-sejarah di Indonesia dan pada kesempatan ini akan membahas mengenai "Agresi Militer Kedua dan Konferensi Antar Indonesia". Tanpa berlama-lama marilah kita simak ulasan berikut.
Belanda, pada tanggal 18 Agustus Desember 1948  melancarkan agresi militer kedua, yang merupakan bencana militer maupun politik baginya, sekalipun pada tataran permukaan terlihat ia dengan mudah memperoleh kemenangan.
 yang selalu mengulas berbagai ulasan khususnya sejarah Agresi Militer Kedua dan Konferensi Antar Indonesia
Yogyakarta tanggal 19 Desember diduduki dan para pemimpin RI seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sultan Syahir, Muhammad Natsir dan Haji Agus Salim di tangkap. Dengan Agresi itu Belanda dapat menguasai kota-kota besar di Jawa dan Sumatera, karena bala tentara RI mengundurkan diri dan melakukan perang gerilya.

Agresi militer Belanda telah menyinggung Dewan Keamanan PBB dan hal itu sangat diharapkan Pemerintah RI. Pemerintah Belanda sendiri akhirnya menyesali agresi itu, dan setelah opini dunia terutama Amerika Serikat mencela keras tindakan itu.

Akhirnya pada Bulan Januari 1949 Dewan Keamanan PBB menuntut pembebasan semua anggota kabinet RI yang ditahan Belanda, pembentukan suatu pemerintahan sementara, dan pengakuan kedaulatan Indonesia. Tanggal 7 Mei Belanda menyepakati kembalinya pimpinan RI ke Yogyakarta, dimulainya suatu gencatan senjata antara Belanda dan RI.  Belanda juga berjanji menghentikan pembentukan negara-negara bonekanya.

Tanggal 6 Juli 1949 Bung Karno, Bung Hatta dan anggota kabinet RI lainnya kembali ke Yogyakarta. Kemudian tanggal 1 Agustus, genjatan senjata antara RI dengan Belanda diumumkan. Sebelum pengumuman itu, Tentara Nasional Indonesi berhasil merebut kembali beberapa daerah di Jawa dan Sumatera.

Dimulai dari kembalinya para pimpinan RI ke Yogyakarta, suatu perundingan dilakukan di Yogyakarta, mulai 19 hingga 22 Juli 1949 antara BFO dan RI yang di kenal sebagai Konferensi Antar Indonesia. BFO adalah organisasi negara-negara bagian bentukkan van Mook yang dalam bulan Juli 1948 seluruhnya berjumlah 15 negara bagian. BFO diketuai Sultan Hamid Alqadri dari Negara Bagian Pontianak.

Konferensi Antar Indonesia di Yogyakarta itu akhirnya memutuskan hal berikut;
  1. Nama negara federal yang akan dibentuk adalah Republik Indonesia Serikat (RIS)
  2. RIS akan memiliki perwakilan dengan sistem bikameral (dua kamar, senat, dan DPR)
  3. Akan di bentuk pemerintahan federal sementara yang menerima kedaulatan dari Belanda
  4. Angkatan perang RIS akan di bentuk berintikan TNI

Tanggal 30 Juli 1949, Konferensi Antar Indonesia diselenggarakan kembali dengan mengambil tempat di Jakarta. Dalam konferensi itu, RI dan BFO sepakat membentuk Panitia Persiapan Nasional pemilihan anggota delegasi NIT (Negara Indonesia Timur) yang akan duduk sebagai delegasi BFO dalam KMB, Mononutu terpilih sebagai salah satu anggotanya.
 yang selalu mengulas berbagai ulasan khususnya sejarah Agresi Militer Kedua dan Konferensi Antar Indonesia
Konferensi Antar Indonesia
Di samping itu, di NIT kabinet Anak Agung jatuh dan digantikan J.E. Tatengkeng sebagai Perdana Menteri. Dalam kabinet J.E. Tatangkeng, Jabir Syah Sultan Ternate dan Residen Maluku Utara diangkat sebagai Menteri Dalam Negeri. Jabatan Residen Maluku Utara yang ditinggalkan Jabir Syah kemudian dipegang oleh Sultan Tidore, Zainal Abidin Syah.

Kemudian di Ternate, PI dan PIM (Partai Indonesia Merdeka) mengusulkan kepada Pemerintahan NIT meninjau kembali politik yang dijalankan selama ini dalam menghadapi pembentukan RIS pada tanggal 1 Januari 1950. PI dalam hubungannya dengan hal itu, meminta agar kedudukan dan peran dari NIT dalam BFO ditingkatkan guna menghadapi perundingan dengan Belanda.

Nampaknya usulan itu mendapat respon baik maupun dukungan dari BNI Manado, pimpinan Dauhan, dan GERPINDO Gorontalo, pimpinan Bokings.

Laporan Residen Maluku Utara yang tertanggal 16 Desember 1948 ditandatangani Sekertaris Residen, A. B. Faber, yang mengevaluasi situasi politik di kawasan tersebut mengemukakan bahwa kesulitan terbesar di daerah tersebut yakni eksis sehubungan dengan pemberitaan-pemberitaan koran PI, Menara Merdeka, yang terlalu berorientasi ke Yogyakarta.

Dan pengaruh pemberitaan koran itu di Ternate dan sekitarnya demikian besar, sehingga Pemerintahan sulit menetralisasinya. Reduktur Menara Merdeka, M. S. Jahir, yang juga merupakan salah satu pimpinan PI, telah di panggil dan diberi peringatan keras atas pemberitaan korannya.

Laporan Residen Maluku Utara lebih jauh mengungkapkan bahwa di Morotai seorang tokoh islam telah melakukan propaganda, bahwa pada tanggal 1 Januari 1949 nanti Belanda akan meninggalkan Indonesia dan wilayah ini akan merdeka. Di Kao dan Wasilei timbul bentrokan antara polisi dengan rakyat.

Bentrokan-bentrokan militer di Jawa antara RI dengan Belanda sangat mempengaruhi daerah Maluku Utara. PI, menurut laporan itu, telah menyebarkan selebaran kepada anggotanya dan masyarakat umum. Isi selebaran itu mengemukakan bahwa Kemerdekaan bagi Indonesia, sehubungan akan dibentuknya RIS, sudah di ambang pintu. Rakyat dihimbau agar tidak mendengar propaganda kosong/suara sumbang berkenaan dengannya.

Laporan itu juga mengemukakan bahwa pemerintah menghadapi kesulitan besar dalam membenahi situasi politik di Ternate lantaran pemberitaan sistematis Koran PI, Menara Merdeka, yang mengganggu situasi keamanan, khususnya di dalam kota Ternate.

Sumber Bacaan;
M. Adnan Amal, 2010, Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950, Jakarta: KPG (Keperpustakaan Populer Gramedia).

Demikianlah ulasan tentang “Agresi Kedua dan Konferensi Antar Indonesia” yang pada kesempatan ini, dapat sampaikan, dan kurang/lebihnya mohon maaf. Semoga bermanfaat dan jangan lupa untuk share ulasan di atas apabila anda berkenan. Terima Kasih dan sampai Jumpa! Semoga anda Sukses selalu!